Di Sekolah Reguler, Pendidikan Inklusi Miskin Perhatian
JAKARTA, KOMPAS.com – Kurang seriusnya perhatian pemerintah untuk meningkatkan pendidikan inklusi tidak hanya terlihat pada kebutuhan kualitas dan kuantitas pendidik bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang menuntut ilmu di Sekolah Luar Biasa (SLB), melainkan juga di sekolah-sekolah reguler.
“Coba bayangkan, jika 40 siswa di satu kelas harus ditangani oleh satu orang guru, ditambah adanya seorang siswa ABK, apakah itu imbang, kalau dipikir itu jelas sangat kurang,” ujar Florentina Atik Purwatmini, guru SMP 226 Pondok Labu, Jakarta Selatan, kepadaKompas.com di Jakarta, Selasa (23/2/2010), menanggapi pernyataan Mendiknas Mohammad Nuh ihwal jumlah tenaga pendidik di SLB yang jauh lebih sedikit dibandingkan banyaknya siswa.
Atik mengungkapkan, guru-guru SLB sudah memiliki kemampuan khusus, sehingga kualitas anak didiknya masih bisa terpenuhi. Sebaliknya di sekolah reguler, selain konsentrasi guru yang harus terbagi dua untuk mendidik siswa reguler dan ABK, keahlian guru untuk mendidik siswa ABK pun rata-rata sangat minim.
“Mereka punya tanggung jawab, tetapi tidak punya kompetensi. Sejauh ini guru reguler berlaku secara otodidak,” ujar kordinator guru inklusi di sekolah model penyelenggara pendidikan inklusi tersebut.
Tahun ini, kata Atik, terdapat 15 ABK di sekolahnya. Dia berharap, guru-guru reguler yang mendapat tugas mendidik siswa ABK diberikan bekal secara temporer dalam penanganan khusus siswa ABK.
Seharusnya, lanjut dia, memang ada guru tersendiri untuk siswa ABK di sekolah reguler, termasuk juga kelengkapan sarana dan prasarananya. Tetapi, kalaupun itu tidak tersedia dan terpaksa diserahkan kepada guru reguler, pelatihan dan pembekalannya mesti diberikan maksimal.
“Sejauh ini hanya satu-dua kali saja, artinya itu pun belum bisa dipenuhi,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, menurut Mendiknas, jumlah tenaga pendidik SLB jauh lebih sedikit dibandingkan banyaknya siswa. Berdasarkan data sementara Direktorat Pembinaan SLB Kemendiknas, jumlah tenaga pendidik SLB (pegawai negeri sipil ataupun swasta) hanya berkisar 16.000 orang, sedangkan siswa SLB di seluruh Indonesia mencapai 75.000 orang.
Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) anak-anak usia sekolah yang berkebutuhan khusus juga masih rendah, hanya 20-25 persen, dari total 347.000 anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, setiap daerah perlu memberikan perlakuan khusus kepada kelompok itu dengan cara menyediakan dan mengoptimalkan lembaga pendidikan untuk penyandang cacat.
“Kalau di SLB diberikan perhatian, semestinya hal itu juga berlaku pada sekolah reguler, karena guru-gurunya harus diberi pembekalan khusus,” tambah Atik.